Dulu, di era 80-90'an, belum pernah ku rasakan "penderitaan“ yang begitu 'dalam' yang di lakukan oleh perubahan cuaca. Dulu, hampir 75% waktuku tersita di alam terbuka. Non-stop bermain sepeda di alam liar, hujan-hujanan, kepanasan-tak sedikitpun merasa menderita..
Ataupun di saat berkeliling pinggiran perbukitan, menyusuri tepian sungai yg sungguh sangat alami dan indahnya... menyenangkan...
Aku baik-baik saja.
Padahal di saat malam menjelang juga masih asyik liar. Terkadang asyik dengan mimpi menjadi si raja kecepatan-tapi lebih sering menjadi sang pecundang.
Tengah malam? Masih dengan alam terbuka, bermandikan cahaya (malam). Bercengkerama dengan kawan, usir sisa-sisa kecewa terkalahkan lawan. Minum segelas kopi penyejuk hati di samping yang habis mengaji.
Aku masih lepas, tak sedikitpun lemas...
Tapi kini...
"satu-satu, asa berguguran... Jatuh ke bumi di telan usia?"
Entahlah....
Yang pasti, perubahan cuaca di siang ataupun malam, terasa sangat berbeda: lebih menyiksa.
Aku sudah habis?
Atau karena iklim yang menjadi sangat "lalim"?
Ya, mungkin karena alam sedang marah... Di khianati oleh pemilik amanah di perlakukan tidak genah.
Mereka di luar sana bilang; hutanku hilang. Di curi semua pepohonan oleh manusia keturunan setan. Sungaiku pun kering... Tak ada lagi.air jernih mengalir dari hutan nun jauh di sana. Tak ada lagi ikan-ikan kecil, ular-ular berbisa di sungaiku itu.
Dan jalanan pun makin bising! Asap hitam mengepul kotori langit desaku. Dan itulah yang membuat alam semakin marah.
Lalu, apa dayaku? Apa upayaku?
Bersihkan bumiku dari para asu? Bisakah aku?
Ah, sudahlah...mandi saja dulu. Sudah habis soreku.
0 comments :
Posting Komentar